Minggu, 28 September 2025

Ahli Jiwa Sebut Tren Kesepian Mulai 'Hantui' Warga RI, Waspada Bahayanya

Administrator - Kamis, 11 September 2025 12:41 WIB
Ahli Jiwa Sebut Tren Kesepian Mulai 'Hantui' Warga RI, Waspada Bahayanya
Istimewa
Ilustrasi (Foto: Getty Images/kitzcorner)

POSMETRO MEDAN,Jakarta -- Ancaman kesepian semakin nyata. Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengingatkan risiko di balik kesepian tidak hanya berdampak pada psikis dan potensi penyakit tertentu, tetapi juga bisa memperpendek usia harapan hidup.

Seseorang yang tak lagi memiliki kontak sosial, lingkungan dekat, serta merasa kerap terabaikan, bisa berakhir dalam keterpurukan serta rasa putus asa. Bahkan fatalnya memilih melukai diri dan mengakhiri hidup. Hal ini menjadi bukti kesepian bukan sekadar kondisi emosional.

Antara tahun 2014 dan 2019, kesepian dikaitkan dengan lebih dari 871.000 kematian per tahun, setara dengan 100 kematian per jam. Tren meninggal dalam kesepian juga belakangan mulai dilaporkan negara-negara maju Jepang hingga Korea Selatan.

Tren kesepian juga mengintai generasi muda. Bagaimana dengan Indonesia?

dr Albert Maramis SpKJ dari Perhimpunan Dokter Kesehatan Jiwa Indonesia menyebut tren kesepian belakangan memang kerap dilaporkan. Dari hasil konsultasi lima tahun terakhir, keluhan akan kesepian semakin banyak tercatat.

"Di awal-awal saya praktik nggak ada laporan demikian," tegasnya dalam webinar di Jakarta Selatan, Rabu (10/10/2025).

"Sementara di 5 tahun terakhir banyak yang mengeluh kesepian, bisa saja mulai ada keterbukaan, tetapi mungkin juga bukan karena itu," lanjutnya.

Meski pemicu pasti kemunculan semakin banyak kasus kesepian belum bisa dipastikan, hal yang menurutnya bisa dipelajari adalah membekali anak-anak dengan 'self regulation'.

"Atau memenuhi kebutuhan diri sendiri, tanpa harus bergantung kepada orang lain," sorotnya sembari menekankan demi meminimalisir dampak.

Negara disebutnya perlu ikut berperan dalam mengawal kesejahteraan masyarakat untuk menghindari tren yang lebih dulu dilaporkan Jepang, yakni meninggal dalam kesepian. Mengingat, survei kesejahteraan atau kebahagiaan warga negara Indonesia, belum mencapai indikator terbaik.

"Memang agak mengherankan melihat kesepian ini tetapi secara umum orang perlu belajar untuk menghadapi kesendiriannya," sebut dia.

Salah satu yang juga bisa dilakukan adalah memperbanyak aktivitas positif, tidak harus selalu produktif, tetapi minimal memiliki kegiatan yang bisa dinikmati.

"Kegiatan yang harus dinikmati, apapun itu, karena secara konkret secara realistis kita perlu menyadari ketergantungan kita terhadap orang lain nggak bisa harus 100 persen," pungkasnya.

'Pandemi Kesepian' Bikin Ribuan Warga Korsel Meninggal

Selain permasalahan angka kelahiran yang semakin rendah, Korea Selatan juga tengah dilanda fenomena 'pandemi kesepian' atau biasa disebut 'godoksa' dalam bahasa Korea.

Setiap tahunnya, pemerintah mencatat ribuan warga Korsel meninggal dunia sendirian dan kesepian, tanpa ada keluarga atau teman yang mendampingi.

Sebagian besar terjadi pada pria paruh baya berusia sekitar 40-45 tahun hingga 60-65 tahun. Umumnya, fenomena 'godoksa' ini banyak terjadi di kota-kota besar.

Di Korsel, fenomena 'godoksa' atau 'lonely deaths' alias 'kematian dalam kesepian' merupakan pekerjaan rumah besar dan mendesak bagi pemerintah terkait isu isolasi dalam kehidupan sosial yang sudah menjadi perhatian sejak lama.

Imbas urgensi dari fenomena ini, pemerintah Kota Seoul menggelontorkan dana sebesar 451,3 miliar won atau sekitar Rp5,1 triliun untuk mengatasi 'godoksa' selama 5 tahun ke depan.

"(Dana ini digunakan untuk) menciptakan kota di mana tidak ada seorang pun yang merasa kesepian," kata Wali Kota Seoul Oh Se-hoon, seperti dilansir CNN, Senin (28/10/2024).

Ia kemudian menambahkan bahwa kesepian dan keterasingan di antara masyarakat bukanlah masalah individu, melainkan masalah bersama yang juga harus diselesaikan oleh pemerintah.

Masalah kesepian telah menjadi salah satu masalah sosial utama Korsel terutama dalam dekade terakhir. Hal itu terjadi menyusul angka generasi muda yang menarik diri dari dunia luar dan menghabiskan hari-hari mereka terisolasi di rumah berbulan-bulan terus meningkat.

Korsel mencatat hingga 244 ribu orang yang mengasingkan diri dan mengisolasi seperti itu pada 2022.

Jumlah kematian akibat kesepian di Korsel juga meningkat hingga mencapai 3.661 kasus di tahun lalu. Menurut data terbaru Kementerian Kesehatan dan Kesejahteraan Korsel, jumlah ini naik dari 3.559 pada 2022 dan 3.378 kasus pada 2021.

"Kesepian dan keterasingan bukan sekadar masalah individu, tetapi tugas yang harus diselesaikan masyarakat bersama-sama," papar Oh.

Pemerintah Kota Seoul juga membuat program konseling gratis 24 jam untuk warganya agar mereka tidak merasa kesepian. Layanan konseling ini juga bisa digunakan oleh warga Seoul untuk berkonsultasi soal masalah pribadi dan masalah-masalah lain yang berpotensi membuat mereka stres dan merasa kesepian.

Ke depannya, Seoul berencana untuk membuka ruang terbuka hijau yang lebih luas. Pemerintah ibu kota Korsel ini juga berencana membuat program yang mendorong warganya untuk pergi ke luar rumah agar mereka tidak mengalami kesepian.

Seoul juga akan mendorong warganya untuk berkebun, berolahraga, membaca, dan melakukan interaksi dengan orang lain agar tidak merasa kesepian.

Langkah yang dilakukan pemerintah Kota Seoul untuk mengatasi 'godoksa' ini menuai respon positif dari berbagai ahli.

(wan/bbs)

Editor
: Indrawan
Tags
beritaTerkait
komentar
beritaTerbaru