Senin, 29 September 2025

Indorayon Kini PT TPL dari Masa ke Masa, Isu Lingkungan hingga Pelanggaran HAM

Administrator - Minggu, 28 September 2025 23:45 WIB
Indorayon Kini PT TPL dari Masa ke Masa, Isu Lingkungan hingga Pelanggaran HAM
Kajian Berita
Situasi bentrokan antara warga dan petugas pengamanan PT.Toba Pulp Lestari di wilayah Buttu Pengaturan, Kecamatan Pematang Sidamanik, Kabupaten Simalungun, Sumatera Utara, Senin (22/9/2025).

POSMETRO MEDAN,Simalungun –Sejak berdiri pada 26 April 1983 dengan nama PT Inti Indorayon Utama (INRU), perusahaan pulp yang digagas Sukanto Tanoto bersama mitra asing dan keluarga Cendana ini terus menuai kontroversi.

Pabrik yang mulai beroperasi pada 1989 di hulu Sungai Asahan, Sumatera Utara, sejak awal dituding mencemari lingkungan, merusak hutan, serta merampas lahan warga tanpa ganti rugi.

Era Orde Baru menjadi periode emas Indorayon, ketika pemerintah kerap memberikan perlindungan politik. Namun krisis 1998 mengubah situasi. Bentrokan warga dengan aparat pecah pada 1999–2000, termasuk penembakan mahasiswa Panuju Manurung dan Hermanto Sitorus.

Baca Juga:

Presiden BJ Habibie sempat menghentikan operasional sementara pada 19 Maret 1999, disusul keputusan Presiden Abdurrahman Wahid yang memerintahkan penutupan permanen pada 1 September 2000.

Perusahaan kemudian berganti nama menjadi PT Toba Pulp Lestari (TPL), merumahkan sekitar 7.000 pekerja, serta melakukan restrukturisasi utang.

Baca Juga:

Pada Maret 2003, TPL kembali beroperasi dengan janji program tanggung jawab sosial (CSR) dan klaim ramah lingkungan. Namun konflik agraria terus membayangi. Tahun 2007, saham TPL mayoritas dipegang Pinnacle Company Pte Ltd yang masih terkait grup RGE milik keluarga Tanoto.

Konsesi dan Konflik Berkepanjangan

Sepanjang 2008–2020, TPL mengelola konsesi hutan tanaman industri (HTI) eukaliptus di Sumut seluas 167.912 hektare (setelah revisi).

Namun, setidaknya 25.000 hektare di antaranya tumpang tindih dengan wilayah adat masyarakat Batak. WALHI, AMAN Tano Batak, hingga KSPPM terus menyoroti dugaan perampasan tanah ulayat.

Data AMAN (2013–2021) mencatat sekitar 50 warga adat menjadi korban kekerasan atau kriminalisasi terkait konflik dengan TPL. Ketua MPR RI Bambang Soesatyo bahkan sempat mendesak pencabutan izin TPL pada 2021, namun hingga kini izin tetap berlaku.

Eskalasi Pasca 2021

Ketegangan makin meningkat pada 18 Mei 2021 saat bentrokan terjadi di Huta Natumingka, Toba. Sebanyak 12 warga luka-luka, termasuk lansia, akibat menghadang penanaman eukaliptus. Insiden serupa berulang di berbagai titik, seperti Lamtoras (Sihaporas), Dolok Parmonangan, hingga hutan kemenyan Nagasaribu.

Pada Juli 2024, video dugaan penculikan enam warga Sihaporas viral. TPL membantah, menyebutnya hoaks, dan menegaskan operasi sesuai izin. Namun konflik terus berlanjut, termasuk bentrokan pada 14 Mei dan 8 Juli 2024 yang berujung kriminalisasi warga Lamtoras.

Awal 2025, warga Nagasaribu Onan Harbangan kembali bentrok setelah akses ke hutan kemenyan dipasang portal oleh TPL. Pada Agustus 2025, kekerasan pecah di Huta Natinggir, Borbor, Toba, di mana seorang warga terluka di bagian leher.

Bentrokan Terbaru di Sihaporas

Senin, 22 September 2025, konflik kembali memanas. Ratusan pekerja dan keamanan TPL masuk ke hutan adat Lamtoras, Sihaporas, Simalungun. Warga menolak, bentrokan pun terjadi.

Posko adat dirusak, sepeda motor dan mobil warga dibakar, serta 33 orang luka-luka termasuk anak-anak dan seorang mahasiswa IPB. Dari pihak perusahaan, enam pekerja dilaporkan terluka.

Respons Perusahaan dan Pemerintah

TPL konsisten membantah tuduhan perampasan lahan maupun kekerasan, dengan alasan seluruh operasional sesuai izin resmi dan program CSR. Corporate Communication TPL, Salomo Sitohang, bahkan menyebut masyarakat tetap bisa mengakses hutan kemenyan di Nagasaribu, dan menilai bentrokan dipicu pihak ketiga.

Sementara itu, pemerintah dinilai hanya bersikap reaktif. Aparat keamanan kerap dikerahkan mengawal kegiatan TPL, namun rekomendasi pencabutan izin dari masyarakat sipil dan lembaga gereja belum ditindaklanjuti. Izin konsesi terakhir TPL justru diperpanjang pada 2020.

Pertanyaan yang Menggantung

Lebih dari 40 tahun sejak Indorayon berdiri, konflik sosial-ekologis belum menemukan jalan keluar. Kini, mayoritas saham TPL dimiliki Allied Hill Enterprise Ltd (per Juni 2025), namun pola sengketa tetap sama.

Pertanyaan mendasar pun muncul:

1. Sampai kapan izin industri besar tetap berjalan tanpa penyelesaian hak ulayat?

2. Apakah dialog hanya muncul setiap kali konflik memanas?

3. Siapa yang bertanggung jawab memastikan janji "lestari" bukan sekadar nama? (Gogo Sinaga/Berbagai Sumber)

Editor
: Administrator
Tags
beritaTerkait
Kronologi Mencekam Sekuriti-Pekerja Toba Pulp Lestari Serbu Warga Adat Sihaporas
Mahasiswi IPB Jadi Korban Pengeroyokan Brutal Sekuriti PT TPL
Wali Kota Medan Rico Waas Tanggapi Rekaman Kontroversial: Jangan Aneh-aneh dalam Pembangunan
Pelayanan Kebersihan di Kecamatan Medan Marelan Terus Ditingkatkan
Polsek Pangkalan Brandan Gelar Bakti Sosial dalam Rangka Hari Bhayangkara
komentar
beritaTerbaru