Sabtu, 27 September 2025

Jejak Gula dan Teh, Pertaruhan Tanah dan Politik Komoditas di Sidamanik

Administrator - Jumat, 19 September 2025 00:40 WIB
Jejak Gula dan Teh, Pertaruhan Tanah dan Politik Komoditas di Sidamanik
IST
Kebun Teh

POSMETRO MEDAN–Pematang Siantar, Sidamanik, Pematang Siantar, pernah menjadi pusat kejayaan agraria. Dulu, deru lokomotif mengangkut batang-batang tebu menuju pabrik, sawah berderet hijau, dan buruh bekerja di bawah bendera kolonialisme.

Tebu kala itu bukan sekadar tanaman, tetapi komoditas emas yang menempatkan Nusantara dalam peta perdagangan gula dunia.

Kini, di lereng dingin kebun teh Sidamanik, gema sejarah itu kembali bergaung—bukan dari mesin tebu, melainkan dari suara protes warga. Rencana konversi kebun teh menjadi perkebunan sawit memicu pertarungan baru: antara memori kolektif, identitas agraria, dan hasrat keuntungan jangka pendek.

Baca Juga:

Dari Gula ke Teh, Kini Sawit

Sejarah panjang agraria di Sumatera Utara mencatat perputaran komoditas: dari tebu yang diatur UU Gula 1870 dan mencapai puncak kejayaan 1930-an, runtuh akibat depresi ekonomi dan perang dunia, hingga nasionalisasi pabrik gula pada 1957 dan program TRI 1975. Sidamanik kemudian dikenal sebagai kawasan teh, warisan kolonial yang masih bertahan.

Baca Juga:

Namun, sejak 2022, wacana konversi kebun teh ke sawit mencuat. Kunjungan DPRD Sumut ke lokasi hingga pernyataan penolakan pada 2025 memperlihatkan bahwa isu ini bukan sekadar persoalan teknis pertanian, melainkan arena politik komoditas.

Bahasa Politik: Isi Lahan Kosong

Seorang anggota DPRD Sumut yang enggan disebutkan namanya menyebut wacana ini bukan konversi, melainkan "penanaman di lahan kosong". "Bukan konversi kebun teh, tapi istilahnya isi lahan kosong dengan sawit," ujarnya.

Bahasa politik yang manis itu, menurut sejumlah pengamat, hanyalah pergantian istilah. Hakikatnya tetap sama: sawit menggantikan teh, ibarat orang yang berganti baju tanpa mengubah siapa dirinya.

Tekanan Ekonomi Global

Latar belakangnya jelas: krisis ekonomi global, kebutuhan investasi besar, serta harga pasar sawit yang lebih menggiurkan dibanding teh. Logika komoditas ini mirip dengan masa gula kolonial, ketika UU liberal dan konsesi tanah 75 tahun memuluskan jalan bagi para planters Belanda menguasai ribuan hektare lahan.

Kini, investor sawit mencoba mengulang pola serupa lewat rezim HGU. Bedanya, jika dulu gula menjadi primadona, kini sawit dipromosikan sebagai penyelamat ekonomi.

Suara Rakyat vs Kekuasaan

Di Sidamanik, warga mulai mengorganisir diri lewat forum advokasi sipil. Mereka menolak konversi, menuntut transparansi HGU, dan mendesak agar perluasan sawit dibatasi hanya pada lahan eksisting. Satu dari delapan anggota DPRD Sumut dapil 10 secara terbuka mendukung penolakan ini.

"Ini bukan hanya kebijakan teknis. Ini soal menjaga memori kolektif dan identitas masyarakat, sekaligus mencegah kerusakan lingkungan," tegasnya dalam kunjungan kerja beberapa waktu lalu.

Risiko Sosial dan Ekologi

Kebun teh bukan hanya sumber penghidupan, tetapi juga bagian dari ekosistem dan identitas budaya Sidamanik. Protes warga bahkan mengaitkan banjir bandang yang melanda beberapa desa dengan perubahan fungsi lahan di kawasan hulu.

Teh di lereng tinggi berfungsi sebagai resapan air alami. Jika digantikan sawit, risiko longsor, banjir, dan kekeringan makin besar. "Sejarah gula di Jawa sudah mengajarkan: kejayaan manis komoditas bisa runtuh seketika ketika ekonomi goyah dan ekologi rusak," ujar seorang aktivis agraria.

Pertaruhan Politik Komoditas

Sidamanik kini berdiri di persimpangan sejarah. Apakah kebun teh akan tetap menjadi saksi warisan kolonial yang dipertahankan, atau berubah menjadi hamparan sawit demi keuntungan jangka pendek?

Seperti era planters Belanda yang memanfaatkan UU Agraria 1870 untuk meraup untung dari gula, kini investor modern mencoba mengulang dengan sawit. Hanya wajah dan komoditasnya yang berubah, pola politik tanah tetap sama.

Keputusan ada di tangan negara, DPRD, dan Kementerian BUMN. Apakah mereka akan berpihak pada rakyat dan lingkungan, atau tunduk pada logika pasar global?(Erni Tanjung)

Editor
: Administrator
Tags
beritaTerkait
Polsek Perbaungan  Gerak Cepat Jaga Kondusifitas saat Gudang Jangkos Terbakar
Gula, Cermin Bangsa: Dari Kejayaan Tebu ke Runtuhnya Industri Manis Nusantara
Dari VOC hingga Tanam Paksa, Jalan Panjang Komoditas Nusantara
Alumni USU Desak Jaksa Agung Usut Dugaan Penyimpangan Aset Sawit Rektor Muryanto Amin
Alamak! Burung Peliharaan Istri Wakil Wali Kota Pematang Siantar Dicuri Maling
Jejak Teh, Raja, dan Persatuan Simalungun
komentar
beritaTerbaru