Sabtu, 06 Desember 2025

Banjir di Sumatera: Bencana yang Dilahirkan dan Dibesarkan Oleh Penguasa dan Kapitalisme

Evi Tanjung - Kamis, 04 Desember 2025 17:57 WIB
Banjir di Sumatera: Bencana yang Dilahirkan dan Dibesarkan Oleh Penguasa dan Kapitalisme
Ist
Banjir bandang yang menghasilkan kayu gelondongan

POSMETRO MEDAN, Medan -

Banjir bandang melanda Sumatera Utara sejak akhir November 2025. Banjir yang menenggelamkan wilayah provinsi Aceh, Sumatera Utara, dan Sumatera Barat itu telah menelan korban jiwa sedikitnya 631 orang, dengan 472 orang masih hilang, dan 2.600 orang lainnya luka-luka. Warga yang terdampak mencapai 3,2 juta jiwa, dengan 1 juta orang menjadi pengungsi.

Bencana di Sumatera ini adalah yang terbesar sejak Tsunami Aceh tahun 2004. Arini Amalia dari Kabupaten Pidie Jaya, Aceh, menyampaikan pilu hatinya saat diwawancara BBC pada 1 Desember 2025. Arini mengatakan bahwa banjir ini "layaknya Tsunami", dan, menurut neneknya, banjir ini "adalah yang terburuk sepanjang hidupnya." Tak heran, banjir ini disebut "Tsunami Jilid Dua".

Para korban banjir harus hidup bak neraka di tanah yang dulunya rumah mereka. Tidak kurang dari 10.000 rumah rusak akibat banjir, dengan 3.500 rumah rusak berat. Mereka kehilangan akses air bersih, makanan, serta listrik. Keterlambatan langkah pemerintah memberikan bantuan membuat kondisi masyarakat semakin putus asa.

Beberapa warga mulai menjarah minimarket serta pusat perbelanjaan. Salah satu korban yang menjarah minimarket mengaku ia mengambil 3 mie instan untuk makan anak-anaknya, sembari meminta maaf di depan media.

Banjir bandang ini tidak hanya terjadi di Sumatera, tetapi juga Thailand, Malaysia, sampai Sri Lanka. Banjir ini dipicu oleh Siklon Tropis Senyar, yang disebut "sangat langka dan jarang" dan "paling berbahaya" dari semua badai yang terjadi saat musim angin monsun di Asia Tenggara. Siklon ini menjadi bagian dari rangkaian peristiwa "paling jarang" dan "belum pernah ada" yang kita sering dengar belakangan ini.

Badai ini adalah simbol kondisi dunia yang sedang bergejolak, yang sedang berada dalam krisis berkepanjangan. Banjir ini tak lain tak bukan adalah akibat krisis iklim, krisis yang disebabkan tidak teraturnya sistem produksi kapitalisme.

Walaupun banjir bandang ini terjadi di berbagai negara, dampaknya yang paling parah ada di Indonesia. Malaysia mencatat hanya dua korban jiwa, dan Thailand, walau jumlah korban jiwa mencapai 170 orang, masih jauh di bawah korban banjir Sumatera. Sama halnya dengan korban jiwa di Sri Lanka yang mencapai 330 orang.

Banjir akibat siklon di Indonesia lebih luas dan lebih dalam. Kita akan menemukan bahwa kelas penguasa kita sendirilah yang memperparah kondisi ini dan membunuh lebih dari 600 jiwa dan menghilangkan penghidupan bagi jutaan orang.

Gelondongan kayu-kayu yang hanyut bersama banjir menunjukkan betapa luas skala deforestasi di Sumatera Utara. WALHI melaporkan bahwa di Daerah Aliran Sungai (DAS) Batang Toru, Tapanuli Selatan, Sumatra Utara, hutan telah berkurang sekitar 300 hektar sejak 2015, dan hingga akhir 2024 total area yang hilang bisa mencapai ratusan hektar. Rata-rata deforestasi mencapai sekitar 9.884,79 hektar per tahun dalam periode 2013-2022.

Halaman:
Tags
beritaTerkait
komentar
beritaTerbaru