POSMETRO MEDAN,Medan – Suasana rapat Komisi E DPRD Sumatera Utara berubah tegang ketika para legislator mempertanyakan kebijakan Dinas Pendidikan Sumut terkait penerapan sistem lima hari sekolah dalam sepekan. Di ruang ber-AC yang biasanya teduh, suara rakyat menggema melalui mikrofon para wakilnya, kali ini dalam bentuk kritik tajam dan pertanyaan menyentil.
Kepala Dinas Pendidikan Sumut, Alexander Sinulingga, hadir langsung dalam rapat tersebut. Ia menjadi sasaran berbagai pertanyaan yang menyoroti dasar logis dan etika administratif dari kebijakan yang dianggap terburu-buru dan minim partisipasi publik, khususnya dari lembaga legislatif.
Anggota Komisi E dari Fraksi PAN, Hendra Cipta, menyuarakan keberatan atas sikap Dinas Pendidikan yang dinilainya menafikan peran DPRD sebagai mitra kerja pemerintah daerah.
Baca Juga:
"Kenapa kami tidak dilibatkan sejak awal? Di mana kajian akademiknya? Kami ini bukan pelengkap seremoni demokrasi," ujarnya tegas.
Ia menilai, langkah Dinas Pendidikan Sumut dalam menjalankan program gubernur terkesan sepihak dan tanpa ruang dialog, padahal DPRD memiliki peran strategis dalam mengawasi dan memberi masukan terhadap kebijakan publik.
Baca Juga:
Senada, politisi Partai Hanura, Ebenezer, juga melontarkan kritik keras. Menurutnya, jika visi Gubernur Sumut, Bobby Nasution, adalah "kolaborasi," maka kebijakan sebesar sistem lima hari belajar seharusnya disusun melalui komunikasi yang terbuka dan melibatkan semua pihak, termasuk DPRD.
"Kebijakan ini menyentuh masa depan anak-anak kita, bukan proyek uji coba. Bagaimana bisa berjalan tanpa pembahasan komprehensif?" tukasnya.
Pernyataan ini menyoroti ketegangan antara pendekatan birokratis top-down dengan prinsip demokrasi partisipatif yang semestinya melibatkan lembaga legislatif sebagai representasi rakyat.
Menanggapi derasnya kritik, Alexander Sinulingga menegaskan bahwa kebijakan lima hari sekolah bukan sekadar perubahan jadwal, melainkan bentuk kepedulian terhadap keterlibatan keluarga dalam tumbuh kembang anak.
"Kami ingin menghapus stigma bahwa sekolah hanya tempat penitipan anak. Dengan libur di hari Sabtu, anak-anak bisa punya waktu lebih banyak bersama keluarga," ujarnya.
Ia juga menyatakan bahwa dalam proses penyusunan kebijakan, pihaknya telah berdiskusi dengan sejumlah pihak seperti orang tua dan siswa. Namun, ia tidak secara spesifik menyebutkan keterlibatan DPRD dalam proses tersebut.
Komisi E DPRD Sumut secara umum tidak menolak esensi kebijakan tersebut. Yang mereka tolak adalah prosesnya yang dianggap tertutup, minim koordinasi, dan tidak transparan.
"Kami ingin kebijakan yang konkret dan partisipatif, bukan hanya disodori program jadi. Jangan menjual alasan sosial untuk menutupi lemahnya koordinasi," pungkas Hendra.
Pernyataan itu mencerminkan keresahan banyak pihak bahwa kebijakan pendidikan, sebaik apa pun niat awalnya, bisa menjadi alat politik jika tidak dikawal transparansi dan akuntabilitas.(Erni)
Tags
beritaTerkait
komentar