Sejarah panjang Golkar di panggung nasional menjadikan partai ini seperti Pohon Beringin yang kuat, kadang diterpa badai, kadang tumbuh dalam teduh.
Dari masa kejayaan Orde Baru hingga era demokrasi terbuka, Golkar terus belajar bahwa kekuasaan tanpa kedekatan sosial hanyalah menara gading.
Baca Juga:
Kini, di tubuh Fraksi Golkar DPRD Sumut, semangat itu kembali disemai. Para wakil rakyat dari beringin mencoba menulis ulang makna pengabdian, mendatangi konstituen tanpa kamera, mendengar tanpa syarat, dan memperjuangkan tanpa pamrih.
"Fraksi Golkar ingin membuktikan bahwa politik bukan hanya arena debat di ruang sidang," ujar salah satu kader muda di DPRD Sumut. Kami ingin menjadikan partai ini sebagai laboratorium sosial tempat ide, empati, dan tindakan nyata bersatu," katanya.
Baca Juga:
Ulang tahun kali ini bukan sekadar penanda usia, melainkan cermin: apakah Golkar masih setia pada semboyannya, "Suara Golkar adalah Suara Rakyat", ataukah Pohon Beringin itu mulai meranggas karena lupa menyiram akarnya sendiri?
Pertanyaan itu bergema di setiap langkah kader muda yang kini menghidupkan denyut partai. Mereka sadar, keberlanjutan politik tidak ditentukan oleh slogan, melainkan oleh kehadiran yang konsisten di tengah masyarakat.
Bagi mereka, politik yang sehat adalah politik yang hadir, hadir di sawah dan pasar, di jalan dan di jantung rakyat.
Nafas Panjang Sebuah Pengabdian
Ketika banyak partai sibuk berburu pengaruh, Golkar Sumut justru memilih menanam keyakinan: bahwa keberlanjutan tidak lahir dari kekuasaan yang besar, melainkan dari ketulusan kecil yang dilakukan terus-menerus.
Tags
beritaTerkait
komentar