Selasa, 01 Juli 2025

Ngopi di Ruang Sekwan Zulkifli Caniago, Aroma Persaudaraan di Tengah Sisa Lebaran

Faliruddin Lubis - Sabtu, 26 April 2025 06:21 WIB
Ngopi di Ruang Sekwan Zulkifli Caniago, Aroma Persaudaraan di Tengah Sisa Lebaran
Foto;foto Erni

POSMETRO MEDAN, Medan-Ruang kerja itu sederhana. Tak luas, tak mewah. Namun, ia menyimpan sesuatu yang tak dimiliki banyak tempat: aroma.





Bukan sekadar aroma khas perkantoran, melainkan aroma kopi yang jujur. Aroma yang menyapa hidung, menyentuh hati, dan membangkitkan kenangan. Hari itu, Rabu (9/4/2025), saya hadir di ruang kerja itu.





Saya datang tanpa membawa proposal atau berkas untuk ditandatangani. Hanya dengan rasa ingin tahu dan kerinduan akan obrolan hangat yang tidak diburu waktu. Dan saya pulang bukan dengan berita formal, melainkan cerita yang menempel hangat di dada.

Baca Juga:




Dr. Zulkifli Caniago AP, SIP, MM—Sekretaris DPRD Sumatera Utara—menerima saya dengan tangan terbuka. Di ruangannya, tak ada formalitas kaku. Hanya percakapan cair, cangkir-cangkir mungil yang tak pernah kosong, dan tawa yang mengalir di antara sesapan kopi.





“Silakan, mau kopi apa?” sambutnya ramah. Di hadapan saya tersaji aneka kopi dari berbagai daerah: Kopi Bali yang aromatik lembut, Kopi Simalungun yang kaya dan bersahaja, Kopi Takengon dari dataran tinggi Aceh yang harum dan kuat.

Baca Juga:




Bahkan, candaan ringan soal "Kopi Bali" sempat membuat saya terdiam sejenak sebelum akhirnya tertawa.





Setiap jenis kopi, katanya, punya karakter khas—seperti manusia. Ada yang halus di awal namun menyisakan kesan kuat di akhir. Ada pula yang keras di awal, tapi lama-lama bikin rindu.





“Kalau kopi diseduh dengan hati, di tangan yang tepat, ia akan bercerita sendiri,” ujarnya sambil mengaduk pelan.





Dua setengah jam kami duduk, ditemani secangkir demi secangkir kopi dan kue-kue Lebaran yang tersisa. Justru dari ‘sisa’ itu terasa ketulusan. Tidak dibuat-buat, tidak berlebihan—seperti hangatnya suasana Idulfitri yang belum sepenuhnya sirna dari udara.





Pak Sekwan bukan sekadar penikmat kopi biasa. Wawasannya luas. Saya pun banyak belajar darinya tentang kopi—dari suhu ideal penyeduhan, teknik roasting, hingga perbedaan rasa biji kopi dari kebun yang dikelilingi pohon buah.





“Kalau kebun kopinya dekat pohon jeruk atau mangga, rasa mangganya bisa nyelip di ujung lidah,” katanya sambil tersenyum.





Namun, yang paling membekas bukanlah teori, melainkan filosofi. Bagaimana kopi, jika diseduh dengan hati, bisa mempertemukan manusia. Menjembatani jarak. Menenangkan hati. Menghadirkan percakapan yang tak butuh topik berat, cukup rasa yang dibagi.





Sebelum saya pamit, beliau menutup dengan kalimat yang tak lekang di ingatan:
“Kopi yang sehat itu nggak butuh gula. Asal tepat menyeduhnya, tetap bisa dinikmati. Yang penting bukan rasa manisnya, tapi siapa yang minum bareng.”





Kalimat sederhana, tapi bermakna dalam bagi siapa pun yang mendengarnya dengan hati.





Ngopi di ruang Sekwan adalah pengingat bahwa kehangatan bisa hadir tanpa harus direncanakan. Bahwa obrolan santai bisa lebih bermakna daripada rapat panjang. Dan bahwa seorang pemimpin, ketika mampu membuat tamunya nyaman tanpa sekat formalitas, telah menunjukkan inti kepemimpinan sejati: melayani dengan tulus.





Mari kita jaga ruang-ruang percakapan seperti ini. Sebab bangsa yang besar, kadang lahir dari percakapan kecil di atas secangkir kopi yang diseduh dengan hati.
(Erni Tanjung)


Editor
: Faliruddin Lubis
Tags
beritaTerkait
Begini Kronologis Pengemudi Mobil Diamuk Massa Usai Diteriaki Maling
Pegawai Dinas Ketapang Sumut Mengeluh: Sudahlah Gaji Kecil Telat Pula, BKD Lempar Tanggung Jawab ke OPD
Keluarga Satgas IPK Sumut Ucapkan Selamat HUT Bhayangkara ke-79
Bupati Langkat Dukung Bhayangkara Sport Day: Wujud Sinergi Polri dan Masyarakat
Klasemen MotoGP 2025 Usai Marc Marquez Juara di Belanda
Tim Gabungan Binjai Gelar Razia di Diskotik BL, Temukan 4 Butir Ekstasi
komentar
beritaTerbaru