Sabtu, 06 September 2025

Bukan Sekadar Kunjungan: Ketika Legislator Membela Daun Teh

Administrator - Minggu, 13 Juli 2025 10:15 WIB
Bukan Sekadar Kunjungan: Ketika Legislator Membela Daun Teh
IST/Erni
Anggota DPRD Sumut.

POSMETRO MEDAN,Medan—Ketika kabut pagi perlahan menyelimuti hamparan bukit teh di Sidamanik, terdengar suara Rony Reynaldo Situmorang. Bukan lewat pengeras suara, apalagi dari panggung kampanye, melainkan dalam sebuah forum kecil di beranda rumah kayu, tempat ia berdiskusi hangat bersama warga dan petani. Topiknya krusial: ancaman konversi kebun teh menjadi perkebunan sawit.

"Kalau ini kita biarkan, bukan cuma teh yang lenyap. Air tanah, udara segar, dan harapan ribuan warga juga ikut musnah," kata Rony, anggota DPRD Sumut dari Dapil 10, dengan sorot mata serius.

Baca Juga:

Isu konversi lahan bukan hal baru. Namun, yang membedakan kali ini adalah cara delapan legislator Dapil 10 menanganinya—bukan dengan retorika, tetapi melalui advokasi nyata sejak 2022.

Sidamanik di Persimpangan Sejarah dan Kapital

Baca Juga:

Kecamatan Sidamanik dan Pematang Sidamanik telah dikenal sejak era kolonial sebagai penghasil teh utama di Sumatera Utara. Namun, dalam dua tahun terakhir, PTPN IV disebut-sebut tengah merencanakan alih fungsi sebagian kebun teh menjadi kebun sawit.

Langkah ini memicu kekhawatiran luas dari warga, akademisi, hingga aktivis lingkungan. Delapan legislator dari Dapil 10 pun menyatakan penolakan, antara lain Mangapul Purba, Gusmiyadi, Rony Reynaldo Situmorang, Timbul Jaya Sibarani, Dharma Putra Rangkuti, Partogi Sirait, Hefriansyah, dan Dasa Sinaga.

Namun, tak banyak yang tahu bahwa Rony merupakan salah satu figur kunci di balik tekanan politik terhadap isu ini sejak awal.

"Saya bukan aktivis lingkungan," ucapnya merendah. "Saya hanya mewakili rasa takut warga yang selama ini diabaikan," lanjutnya.

Dari Sidamanik ke Senayan: Jejak Advokasi

Puncak perjuangan terjadi pada 2022, saat DPRD Sumut memfasilitasi pertemuan lintas institusi di Jakarta. Komisi B DPRD, PTPN IV, dan Kementerian BUMN duduk satu meja. Dalam forum itu, disepakati tidak akan ada ekspansi sawit di luar lahan eksisting.

"Saat itu, kami semua sepakat—baik politisi maupun birokrat pusat—bahwa Sidamanik adalah kawasan yang harus dilindungi," ujar Gusmiyadi, yang kala itu menjabat Sekretaris Komisi B DPRD Sumut.

Rony menyebut momen itu sebagai "kemenangan sementara rakyat". Namun kini, ia kembali mencium adanya manuver diam-diam yang berpotensi menghidupkan rencana konversi lahan.

"Isu ini bukan lagi soal kebun, tapi soal konsistensi negara menepati janjinya kepada rakyat," tegasnya.

Menolak Jadi Penonton

Dalam kunjungan kerja DPRD Sumut awal Juli lalu, Rony kembali hadir di tengah warga Sidamanik. Ia mendengarkan langsung keresahan warga: potensi longsor, banjir, kerusakan sumber air, hingga hilangnya identitas sosial dan budaya.

"Kita bicara tentang ekosistem. Kalau teh diganti sawit, air dari mana? Udara seperti apa yang akan dihirup anak-anak kita nanti?" ucap Rony di hadapan tokoh adat dan kepala dusun.

Sikapnya jelas dan tegas: tidak ada ruang kompromi untuk konversi lahan. Dalam rapat internal DPRD, Rony bahkan disebut sebagai salah satu legislator paling vokal yang mendesak agar Komisi B mengeluarkan sikap resmi, bukan sekadar menjalankan kunjungan seremonial.

Warga Butuh Kepastian

Lembaga masyarakat sipil yang selama ini mendampingi petani teh Sidamanik menyebut Rony sebagai "jembatan" antara rakyat dan parlemen.

"Dia rajin turun, bukan hanya datang untuk foto-foto," ujar Nila Tampubolon, salah satu aktivis pendamping warga.

Namun, perjuangan belum selesai. Informasi dari internal PTPN IV menyebut bahwa revisi tata guna lahan masih terus disusun secara diam-diam. Dalam situasi seperti ini, pengawasan legislatif dianggap menjadi kunci utama.

"Kami berharap Rony tidak dibiarkan sendirian. Ini waktunya seluruh anggota DPRD bersikap, bukan sekadar mengaminkan opini publik," tambah Nila.

Menjaga Warisan Daun Teh

Di tengah gegap gempita pembangunan dan investasi, suara seperti Rony Reynaldo Situmorang menjadi langka. Ia memang bukan petani, bukan aktivis, dan bukan pejabat pemerintah pusat. Tapi justru karena itulah suaranya penting: suara keberpihakan dari dalam sistem.

"Kalau negara ingkar, rakyat tak boleh diam," tutup Rony. "Kalau kebun teh tumbang, kita kehilangan lebih dari sekadar ekonomi. Kita kehilangan wajah kita sendiri," katanya. (Erni)

Editor
: Faliruddin Lubis
Tags
beritaTerkait
Jejak Teh, Raja, dan Persatuan Simalungun
Atasi Masalah Medan Utara, Wali Kota Medan Diskusi dengan Akademisi USU
Sejarah dan Kearifan Kebun Teh Bah Butong Sidamanik, Akar dan Nilai yang Menghidupi Perkebunan
Sidamanik: Jejak Teh, Peradaban dan Ancaman Konversi Lahan
Sehat dari Rempah Herbora Drink, Perjalanan Herbora Tea Menembus Pasar Dunia
komentar
beritaTerbaru