Senin, 08 September 2025

Hari Ketiga Demonstrasi, Nyanyian Mahasiswa Dibenturkan dengan Diamnya DPRD Sumut

Administrator - Jumat, 29 Agustus 2025 00:23 WIB
Hari Ketiga Demonstrasi, Nyanyian Mahasiswa Dibenturkan dengan Diamnya DPRD Sumut
Ist
Polisi yang tetap berjaga

POSMETRO MEDAN, MEDAN -

Jalan Imam Bonjol kembali berubah jadi panggung kemarahan. Kamis siang (28/8/2025) pukul 13.00 WIB, giliran Aliansi Mahasiswa Universitas Nomensen Medan yang menyalakan api perlawanan di depan gedung DPRD Sumatera Utara. Tanpa tameng, tanpa pentungan, hanya berbekal toa, spanduk, dan suara serak, mereka menuntut agar gedung megah itu kembali mendengar denyut rakyat.

Di antara terik dan keringat, spanduk-spanduk mereka berkibar,

Baca Juga:

"Tikus Kantor, DPR Tidak Merakyat, Mereka Menyayat."

"Kami Butuh Perubahan, Bubarkan DPR."

Hingga sindiran pedas, "Info Loker. Kerja Joget-Joget Gaji 3 Juta/Hari #RIPDPR."

Nyanyian mahasiswa menjelma orkestra jalanan. Mereka berteriak lantang, "DPR jolma doho? sindiran dalam bahasa Batak yang menggugat kemanusiaan para wakil rakyat. Sebuah spanduk lain berbunyi, "Kerja pontang-panting hanya untuk bayar pajak," menyayat logika, rakyat bekerja keras, tapi hasilnya justru menghidupi kemewahan elite.

Namun dari balik pagar tinggi itu, sunyi yang menjawab.

Hingga pukul 16.35 WIB, tak seorang pun anggota DPRD Sumut keluar menemui mereka. Ketua DPRD Sumut, Erni Ariyanti Sitorus SH MKn, tetap bertahan di ruang rapat ber-AC. Diamnya gedung DPRD seolah jadi simbol jurang, rakyat berteriak di jalan, wakil rakyat bersembunyi dalam kenyamanan dingin mesin pendingin.

Hari ketiga ini menegaskan pola, mahasiswa bersuara, DPRD memilih bungkam. Yang satu mendesak perubahan, yang lain menutup pintu. Ketidakhadiran para legislator, terutama ketuanya, bukan sekadar soal protokol. Ia menjadi simbol ketidakpedulian bahwa wakil rakyat hanya hadir untuk seremoni, bukan untuk mendengar rakyat kecil.

Orasi yang awalnya bernada tuntutan berubah jadi satire getir. Nyanyian protes melebur dengan doa-doa sinis. "Lebih baik kami bicara pada Tuhan, karena wakil rakyat kami tidak mendengar," ucap seorang mahasiswa, menyalakan tawa getir di kerumunan.

Di hadapan aparat kepolisian yang berjaga dengan barikade, mahasiswa hanya membawa tangan kosong yang menggenggam spanduk. Tak ada kekerasan fisik yang meledak, tapi kekerasan simbolik justru lebih terasa, ketika rakyat diabaikan, ketika jeritan tak digubris, ketika perwakilan rakyat menutup telinga dan hati.

Dalam tradisi demokrasi, abainya wakil rakyat terhadap suara rakyat adalah luka paling dalam. Ia mungkin tidak meninggalkan lebam di tubuh, tapi menorehkan parut di nurani bangsa.

Hari ini, di bawah langit Medan, mahasiswa bernyanyi, sementara Ketua DPRD Sumut memilih diam.(erni)

Editor
: Evi Tanjung
Tags
beritaTerkait
Darma Putra Rangkuti : Pengawasan DPRD Sumut Meningkat Implementasi RPJMD Pasti Maksimal
komentar
beritaTerbaru